“Menunggu itu bukan
hanya tentang hal menunggu, tapi tentang bagaimana kamu menjaga
keyakinan hati selama menunggu.”
Menunggu
itu membosankan, menunggu itu buang-buang waktu, tapi buat mereka
yang mampu menjaga keyakinan hatinya akan sesuatu yang mereka tunggu,
itu tidaklah sulit. Justru dengan menunggu saat itu tiba, kita punya
semangat yang lebih dan memiliki tujuan untuk menjalani hari-hari.
Kakiku
melangkah meninggalkan ruangan kerjaku di lantai 2 kantor
jurnalistik. Pukul 5.15 pm, sudah tidak begitu banyak karyawan yang
berlalu lalang di ruangan itu. Sebagian dari mereka sudah pulang
sejak lima belas menit yang lalu dan yang lainnya masih dengan
deadline mereka yang harus segera diserahkan ke pimpinan redaksi. Aku
masuk ke dalam lift dan langsung memencet tombol lantai dasar.
Kesibukan hari ini membuatku merasa lapar lebih cepat dari jam makan
malam yang seharusnya.
Akhirnya
aku memilih untuk bersantai dan menyantap beberapa cup cake di Cafe
depan kantorku.Cafe ini salah satu tempat favoritku dari awal aku
kerja di kantor jurnalistik ini, dua tahun yang lalu. Aku yang tidak
begitu banyak teman menghabiskan banyak waktuku di kedai cafe ini.
Sampai pemilik dan pelayan cafe itu hafal denganku, tempat aku biasa
duduk untuk minum kopi dan kopi yang aku pesan. Persis sama tiap
harinya tidak pernah berbeda, yang berbeda hanya pakaian yang aku
kenakan tiap harinya. Membosankan ? Ini bukan membosankan tapi ini
bentuk konsistensiku terhadap sesuatu yang aku suka apalagi yang aku
cinta.
Dua
cupcake dan moccachino sudah habis aku lahap, memanjakan perutku yang
sedari tadi meronta-ronta minta diisi. Cukuplah appatizers ini
mengganjal perut sampai waktu makan malam nanti tiba.
Aku memutuskan untuk
menghabiskan sisa-sisa waktu di cafe sambil mendengarkan lagu-lagu
kesayangan di iphone kesayanganku.Headset sudah menancap di kuping,
tiba-tiba terasa pundakku disentuh seseorang dari belakang.
Sesosok pria sudah berdiri
sambil tersenyum dibelakangku ketika aku membalikkan badan.
Tanpa ragu dia langsung
mengulurkan tangannya mengajakku berkenalan.
Namanya Reno, mahasiswa
yang sedang magang menjadi wartawan di stasiun tv lokal. Ternyata
beberapa hari ini dia sudah memperhatikanku, mengamati setiap
gerak-gerikku selama di kedai kopi itu. Menungguku di tempat yang
sama setiap harinya.Tercengang juga mendengar pengakuannya, sedikit
risih dan berfikir negatif tentang Reno. Jangan-jangan pria yang
sedang berada di depanku ini FREAK ? Atau hanya orang iseng yang akan
usil kepadaku . Hohoho, awas aja kalau berani macam-macam denganku.
Reno seperti tahu apa yang
sedang aku pikirkan karena sedari tadi aku hanya diam. Langsung saja
dia meminta maaf atas pengintaiannya selama beberapa hari ini.
Kemudian dia mengemukakan maksud kenapa dirinya melakukan pengintaian
selama ini. Adalah karena dia ingin mengangkat profil seorang
jurnalis untuk dia presentasikan dalam tugas mata kuliahnya.
Satu yang membuat aku
bertanya waktu itu? Kenapa harus aku yang dia pilih, secara aku belum
pernah mencapai suatu hal besar dalam bekerja di dunia jurnalistik
selama ini. Dan dia hanya menjawab, “karena kamu adalah jurnalis
pertama yang saya temui di cafe ini.”, jawabnya singkat.
Entahlah itu awal dari
sebuah modus atau apakah aku tidak paham tapi yang pasti aku jadi
tergerak untuk membantu dia dalam hal ini. Itu Saja.
Perbincangan sore itu aku
sudahi karena langit sudah mulai menghitam. Aku menuju parkiran depan
dan langsung cepat-cepat naik ke dalam taksi yang sudah aku pesan
sedari tadi. Sedikit agak ngeri kalau Reno mengikuti taksi yang aku
tumpangi dan tiba-tiba berada di depan rumahku. Sungguh, malas untuk
membayangkannya juga.
Sesampainya di depan rumah
bersyukur sekali tidak ada mahluk seperti Reno yang aku temui di
sana. Buru-buru aku membuka pintu rumah dan masuk ke dalam. Bagiku
hari itu sungguh sangat absurd, di sela-sela hariku yang padat muncul
sesosok makhluk entah dari planet mana mengajakku kenalan dan
sepertinya aku akan sering bertemu dengannya karena aku berjanji
untuk menyelesaikan tugas kuliahnya itu. Sungguh orang yang aneh.
Gumamku.
Sedang asiknya aku
mengingat-ngingat kejadian di kedai kopi tadi, tiba-tiba ekor mataku
melihat sebuah kotak di atas lemari. Aku mengambil kotak itu dan baru
sadar, kotak itu tersimpan lama di atas lemari itu bertahun-tahun
lalu. Hanya kadang berpindah tempat apabila aku membersihakn lemari.
Sekalipun aku tak pernah membukanya. Kotak itu dari Yoga. Mendadak
perasaanku berubah aneh ketika mengingatnya, ada perasaan yang besar,
jantung tiba-tiba berdetak lebih cepat, aliran darah terasa mengalir
lebih cepat. Dada seperti tidak mampu menahan guncangan rindu yang
serasa ingin keluar memecah dada. Aku seperti petasan yang siap
meledak, menjadi berkeping-keping tak bersisa.
Aku membuka kotak itu
perlahan, aku takut akan ada sesuatu yang membuatku melompat
ketakutan ketika membuka kotak itu, karena Yoga selalu melakukannya
tiap kali dia memberi sebuah kado kepadaku. Tapi kali ini yang aku
lihat hanya daun yang mengering, di sebelahnya terdapat tulisan yang
bertuliskan tangan sedikit berantakan tapi bermakna.
“This is remebering the
last time we touched, the last time we spoke.”
Seperti
ada sihir yang mulai bekerja ketika aku selesai membaca tulisan itu.
Seketika genangan bulir-bulir air mata tak mampu aku tahan di pelupuk
mata, mengalir dengan lancarnya melewati pipiku dan membentuk
gumpalan bulir-bulir besar yang siap jatuh ke bumi. Yoga,,,aku
kangen....”, isakku dalam tangis sambil mendekap erat kotak dalam
pelukan. Aku tertidur dengan perasaan rindu yang semakin mendalam
kepada Yoga.
pict : google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar