Follow Us @soratemplates

Selasa, 22 Januari 2019

Self Healing with Writing

Januari 22, 2019 0 Comments

Well,,, I’d like to tell about how I handle my broken heart phase so far.

So, here...after my last broken heart phase, around two years or something years ago -idk the exactly- I felt that I coudln’t fall in love anymore, or feel something like I couldn’t believe to the kind of relationship between man-woman. Why.... ?

I think that was normal feeling pasca broken heart phase,,,, but time by time, even I more careful to make a new relationship, eventually I fall in love again as if I forgot about ”how hard time that I’ve throughout in my broken heart phase”. I couldn’t deny when I fall in love with someone.But before we talk about that, we back to the topic about process that I’ve through.

Bagiku, jatuh cinta itu sesuatu yang sakral dan tidak mudah. Meskipun aku beberapa kali make a relationship tapi gak ada rasa cinta, ini pernah terjadi padaku. Jadi , relationship hanya sebuah status -palsu- ,dan itu melelahkan guys. Mending berpura-pura bahagia dari pada harus berpura-pura mencinta.

Jadi, ketika aku sudah mulai jatuh cinta kepada seseorang, biasanya aku selalu menyerahkan segala rasa kepada ybs (*yang bersangkutan). Nah, ini yang membuat para wanita(khususnya aku) move on nya lama, karena para perempuan mencintai dengan cara yang salah. Ini aku bisa nulis kayak gini soalnya lagi “waras” aja, coba kalo mengalami sendiri (lagi). :D

Berkali-kali gagal dan patah hati membuatku lebih berhati-hati untuk kembali menjalin hubungan pacaran, apalagi memutuskan untuk menikah. Sebelumnya beberapa kali pria memintaku untuk menjadi pendamping hidupnya, sayangnya perasaan itu tak juga kunjung kurasakan. Bukannya sok-sok menolak atau jual mahal, sini pengennya dilamar sama seorang yang juga aku cintai dan aku inginkan dalam hidup begitu juga sebaliknya, seseorang itu menginkan aku dalam hidupnya. *uhuk...

So, apa  yang aku lakukan ketika berada di fase ini ?

Banyak guys,,,,salah satunya menulis, because writing is selfhealing from depression. For me…it works.
Dengan menulis, aku bisa menumpahkan segala perasaan yang tak bisa aku ungkapkan ke orang dan akhirnya aku tumpahkan melalui  kertas putih, atau ke blog ini. Itu caraku merelease energy negative yang ada di diriku. Terlepas tulisan yang aku buat akan dipublish atau hanya sekedar memenuhi draft-ku itu gak masalah, yang penting aku bisa menyampaikannya lewat kata-kata. Kebanyakan sih, memang gak semua tulisan yang aku bikin itu harus saat itu juga aku publish, biasanya aku menunggu waktu yang tepat (*ceileh) untuk mempublish nya…

Jadi, gak semua tulisan yang aku publish saat itu adalah apa yang aku rasa saat itu juga, karena sering kali tulisan yang aku publish adalah sesuatu yang  ditulis beberapa waktu yang lalu, mungkin bisa sebulan, dua bulan, atau tahun-tahun lalu. Hehehehe

Well, back to the topic. Biasanya dalam proses menulis, aku tergantung sekali sama mood ku saat itu, karena emang tulisanku gak pernah ada deadline nya. Hehehehe. Jadi, ya,,,,kalo moodnya lagi pengen nulis, ya pasti bakalan jadi banyak hal yang bisa aku tulis, tapi…sering kali juga, banyak artikel atau cerita yang berhenti di tengah jalan dan masih menjadi penghuni di draft blog. Hem….Buatku itu sih gak masalah guys, karena yang penting apa yang ada diotak dan sudah dirangkai diangan-angan akhirnya bisa menjadi suatu tulisan yang nanti, suatu saat hari nanti tulisan itu akan aku baca kembali.

Nah, itu caraku menyampaikan isi hati atau uneg-uneg yang ada di kepala karena sudah terlalu penuh dan perlu ada media untuk menampung.

Terus apakah aku menulis hanya ketika sedih saja ? atau bikin puisi atau cerita yang melulu mellow ?
Gak juga sih, buktinya,,, bisa stalking blogku :D

Mostly sih, emang blog ku ini isinya puisi galau semua, iya saya menyadari hal itu, hahaha tapi ada beberapa postingan yang menceritakan tentang hal yang gak melulu soal cinta,cinta, dan cinta. :D
Ada beberapa puisi tentang kehidupan, tentang ibu juga ada. Beberapa juga ada cerpen dengan genre horror, tapi ya masih amatiran jadi pas dibaca lagi “B” aja hehheh…

Eniwei, apapun itu gak ada salahnya kamu mencurahkan semua perasaan yang ingin kamu curahkan, atau tentang ide, opini , atau apapun itu lewat tulisan. Salah satu misi ku menulis adalah “aku menulis sesuatu yang pada suatu hari nanti akan aku baca kembali” entah itu cerita sedih atau bahagia.

So, ready to create your story ? 💗💗💗






                                                                         

Kamis, 10 Januari 2019

Membaca buku Vs Menonton Film

Januari 10, 2019 0 Comments
Membaca buku  atau menonton film?

Mostly, bakalan pilih nonton film ya ? Siapa sih yang gak doyan nonton film ? akupun begitu, seneng banget nonton film. Paling seneng sih nonton film horor. Hahah

Anyway, kali ini aku gak akan bahas tentang film yang pernah aku tonton atau buku apa yang sering aku baca. Tapi, kali ini aku pengen membandingkan dampak dari menonton film dan membaca buku. Pengen share aja dari pengalamanku selama ini mengenai dampak dari dua kesenangan itu.

Well, ngomong-ngomong mengenai dampak nih, pertama aku mau bahas dampak dari menonton film ya (sebenernya menonton bisa apa aja, kayak nonton TV, layar tancep atau apapun itu, karena banyak hal bisa ditonton, jadi aku persempit aja bahasannya menjadi menonton Film). Biasanya, aku kalau abis nonton film entah itu di bioskop atau di laptop, aku bakalan lebih cepet lupa ama ceritanya kalau udah selesai, hahhaha. Nah, cepat lupanya aku dalam mengingat-ngingat film yang pernah aku tonton, bikin aku gak kebayang-bayang sama film horor yang udah pernah aku tonton. Biasanya sih, beberapa viewers bakalan terbayang-bayang ama hantu yang main di film horor yang abis ditonton (parno). Tapi, kalau aku, untungnya gak terbayang-bayang dengan hantu yang pernah  ditonton dimovie. Jadi, selalu aja terus penasaran kalo ada film horor baru, pengennya ndak mau melewatkan. Karena menurutku, menonton merupakan kegiatan pasif yang tidak memerlukan banyaknya kinerja otak kita. (*ini teori aku sendiri yang buat :D)

Berbeda dengan menonton, jelas membaca itu membutuhkan otak yang siap menampung dan mengimajinasikan apa yang ada di dalam cerita tersebut. Ini membuatku lebih membekas dan berkesan. Saat kita membaca, kita membutuhkan konsentrasi yang lebih. Karena bukan hanya sekedar membaca tulisan, tapi otak juga akan memviasualisasikan cerita apa yang tertangkap oleh otak. Disinilah daya imajinasi kita diasah. Aku sering kali berhenti pada kalimat-kalimat yang otakku gak bisa "terima" , ehm maksudnya di sini yang susah dicerna atau divisualisasikan. Ini sebabnya aku cenderung lama baca-baca buku yang bahasanya "tinggi" , secara aku orangnya telmi a.k.a telat mikir, lola atau loading lama. Karena itu aku lebih seneng ama novel metropop yang ringan, lugas dan menghibur. :D

Ok, fine. Intinya, membaca itu -buatku- lebih banyak meninggalkan kesan dari pada sekedar menonton. Bukan berarti kalo nonton gak meninggalkan kesan, tapi membaca kesannya lebih lama tinggal di dalam otakku. Aku pernah merasa kecewa pada sebuah film yang diadaptasi dari novel, sebagai contoh film 5cm, karena sebelum film itu direlease aku baca novelnya duluan, pas nonton filmnya langsung banyak adegan dalam novel yang di skip dalam film. Iya, karna bisa saja gak mungkin film yang durasinya kurang lebih 2 jam-an (kalo gak salah), bisa merangkum semua isi novel yang baratus2 halaman. Well, yang ini forgivable lah ya...

Tapi, masih inget film Supernova gak ? yang di angkat dari novel serial pertama Supernova - Kstaria, Putri , dan Bintang Jatuh, itu menurutku yang memerankan sebagai Diva dalam film, -maaf- kurang sesuai dengan karakter Diva yang ada di novel (karena jauh sebelum filmnya release, duluan baca novel). Aku, sebagai pecinta serial Supernova (*eaaaa) cukup kecewa dengan Supernova dalam versi visualnya. Karena Diva -yang aku imajinasikan- bukan sekedar perempuan biasa (gak bisa jelasin pokoknya baca sendiri aja novelnya, and you will know how intelectual she is). Yang ini forgivable sih, soalnya masing2 imajinasi orang kan berbeda ya, jadi mungkin ibu suri (panggilan buat Dewi Lestari), meng-imajinasikan sosok Diva apabila divisualisasikan seperti yang ada di film. Sedangkan aku, (mungkin) berkespektasi lebih tentang sosok Diva ini. 

Well, yang mau aku bilang di sini sebenarnya apa ? 
Tanpa kita sadari ketika membaca, imajinasi kita jauh melebihi diri kita sendiri, maksudnya kita memvisualisasikan sendiri alur, plot, serta karakter yang disajikan dalam novel yang kita baca. Sehingga, apabila sang author mencoba memvisualisasikan karakter dalam tokoh nyata, apabila tidak sesuai dengan yang kita imajinasikan ini akan membuat kita merasa kecewa. Ini wajar saja, bukan big problem kok. Karena masing-masing dari kita memiliki imajinasinya sendiri.

Well,,, jadi, pesan yang ingin aku sampaikan di sini adalah.... buat kamu yang kurang suka membaca, cobalah untuk mencoba membaca apapun itu, misalkan dimulai dari buku-buku bacaan favorit (kalo aku sih novel). Dan rasakan sensasinya, bagaimana kamu ikut masuk ke dalam cerita dan menyaksikan apa yang terjadi dalam cerita.
Selamat mencoba ^_^