11:11
PM
“Waktu
di mana semua hal di dunia nyata terhenti, menghilang, dan takkan
pernah kembali.”
Denting
jam ditembok, seolah seperti sebuah simphony yang memekakan telinga,
dan mengiris ulu hati. Alunan pilu not-not yang entah dari mana
sumbernya, merangkai menjadi alunan dentingan yang syahdu. Teriris.
Dentingan
yang tidak biasa yang pernah aku dengar. Jam dinding itu selalu
berdenting di putaran-putarannya dan selalu sama. Tapi, tepat pukul
11: 11, dentingannya sangat lembut, lebih lama, dan selalu berhasil
membuat bulu kudukku berdiri tiap kali aku mendengarnya.Mungkin saja
kalau jam dinding itu bisa bicara,dia ingin sekali mengatakan sesuatu
kepada setiap seseorang yang melewatinya, tapi....jam dinding
hanyalah jam dinding, dia benda mati dan tak akan bisa berkata.......
Jam
dinding itu menempel di dinding diantara rak-rak buku milik omaku,
jam dinding yang selalu menyita perhatianku tiap kali aku berada di
ruangan baca itu. Karena bentuknya yang unik, terkesan klasik, dan
usianya melebihi usia anak sulung omaku- itu lebih dari 45 tahun
lalu-serta karena suara dentingan yang tidak biasa.
Setelah
sekitar 10 jam perjalanan, akhirnya siang itu, aku dan kedua orang
tuaku tiba di kediaman omaku. Semenjak opah meninggal beliau hanya
tinggal sendiri di rumah yang cukup besar itu, dan hanya ditemanin
beberapa pembantu dan sopir yang bekerja paruh waktu.
Kulitnya
yang keriput, rambutnya yang memutih, badannya yang tak lagi tegap
ketika berdiri, selalu menyambut setiap orang yang mampir di rumah
itu dengan hangatnya, menyiapkan semuanya sendiri, detail. Sampai
handuk mandi untuk para tamunya beliau siapkan juga. Mentari yang
bersinar sangat terik di hari itu membuatku enggan untuk berkeliling
jalan-jalan ke kebun bunya milik omaku. Padahal dulu aku suka sekali
beramain di sana ketika aku kecil kata oma, entahlah kapan waktu itu
,bahkan aku tidak ingat jika aku pernah suka bermain di kebun bunga
oma.
Aku
berjalan meninggalkan ruang keluarga dan menuju tempat istirahatku
yang sudah disipakan oleh oma, tapi langkahku terhenti di ruang baca.
Keinginanku untuk bersantai di kamar seolah terkalahkan oleh
ketertarikanku untuk berdiam di ruang baca. Ruang baca itu selalu
tertata rapi persis seperti terakhir kali aku ke tempat ini, setahun
lalu. Entah kenapa aku suka sekali berada di ruangan ini, mungkin
karena nyaman, bersih dan pasti banyak buku-buku langka di sini. Jane
Austin, Mary Shelley, Sir Walter Scott, Robert Shouthey, William
Blake, dan William
Shakespeare dengan master
piecenya “Romeo & Juliet”, telah menjadi penghuni di ruang
baca ini sejak bertahun-tahun lalu.
Semua
koleksi buku-buku yang ada di ruang baca ini adalah milik Opa. Sering
kali Opa menghabiskan waktunya di ruangan ini – kata Oma.
Sayangnya, aku belum sempat bertemu dengan Opa, beliau meninggal
tepat 7 hari sebelum aku lahir. Aku hanya melihat wajah Opa dalam
foto keluarga yang dipajang Oma di ruang keluarga. Tapi kata ayah,
aku mirip Opa, bukan wajahnya melainkan cara berpikirnya,
tingkahlakunya, celetukku yang spontan dan sering kali mengingatkan
ayah kepada Opa.
Aku
mulai asik memilih-milih buku untuk aku baca nantinya, tapi ketika
tanganku asik bermain diantara buku-buku, ekor mataku melihat suatu
benda tergeletak di atas meja di pojok ruangan. Itu seperti sebuah
photo album. Aku menghentikan aktifitasku dengan buku-buku di rak
lemari dan menghampiri album foto itu. Aku duduk di kursi goyang
kesayangan oma sambil melihat-lihat foto-foto yang ada di album itu.
Keasyikanku
terhenti ketika aku melihat foto seorang gadis dalam album, gadis
yang belum pernah aku lihat sebelummya. Memakai baju coklat ,
rambutnya dikepang dua dengan pita-pita kecil menghiasainya. Hanya
saja, dari foto yang aku lihat itu, gadis itu seperti mengidap
Downsyndrom,
gadis yang berumur belasan tapi di dalamnya terdapat jiwa balita.
Tapi dia manis.
Berbagai
pertanyaan muncul dibenakku, sebenarnya siapa gadis ini? Mengapa aku
tidak pernah tahu selama ini? Kenapa tidak ada yang menceritakan
kepadaku siapa gadis ini?
Aku
terus mencari tahu sebenarnya siapa gadis album itu. Dan, aku
menemukan satu foto kartu ucapan ulang tahun. “Selamat
Ulang Tahun, Merlyn...” -Peluk Cium Papa Mama- Merlyn
? Siapa Merlyn?
Aku
tertidur di ruang baca Oma sekitar satu jam, ibuku membangunkan aku
dan menyuruhku untuk mandi dan bersiap makan malam bersama. Saat itu
pertanyaan-pertanyaan tentang Merlyn yang sebelum aku tertidur terus
saja bertengger di kepalaku, saat itu juga entah hilang kemana.
Seperti ada sesuatu yang hilang, yang seharusnya aku tanyakan kepada
ayah dan omaku, tapi apa?
Selama
di meja makan aku hanya terdiam dan memakan makanan sekenanya
saja,sepertinya cacing dalam perutku kali ini sedang malas untuk
mendendangkan keluhan laparnya kepadaku, tidak seperti biasanya.
“Kinan,
masakan Oma tidak enak? Kenapa kamu tidak semangat begitu makannya?
Kamu sakit?”, pertanyaan Oma yang berentet membuyarkan lamunanku.
“Tidak
Oma, makanannnya enak kok, mungkin Kinan kecapeka aja Oma”, kataku
sambil tersenyum manis kepada Oma.
“Ya
sudah, kamu habiskan makan malammu terus kembali ke kamarmu buat
istirahat”Ayah menambahkan.
“Iya
yah...”
Aku
masih termenung, memikirkan apa yang sebelumnya aku pikirkan, kenapa
aku tidak bisa ingat sama sekali? Rasa penasaranku semakin membesar
ketika aku melewati ruang baca itu lagi. Album fotonya masih
tergeletak di tempat yang sama. Berharap dari album itu aku bisa
teringat kembali apa yang sehrusnya aku tanyakan.
Merlyn.
Satu
nama yang membuat aku penasaran, kali ini aku harus bertanya tentang
gadis itu.Dan, entah kenapa perasaan penasran ini tidak biasa, aku
biasanya tidak seperti ini bila penasaran akan sesuatu, tapi kali
ini, beda. Aku tulis nama itu dalam ponselku sebagai reminder, bila
aku nanti lupa lagi setelah tertidur di ruangan ini. Bener sekali,
seketika rasa kantuk melandaku, mataku seakan tak bisa diajak
kompromi, aku melihat jam saat itu tepat pukul 11:11 malam. Kenapa
tiba-tiba malam terasa sangat cepat sekali? Bukankah baru saja aku
makan malam bersama keluargaku.
Tubuhku
serasa lemas, kakiku terasa lemah untuk menopang tubuh ini.
Kurebahkan badanku di sofa ruang baca itu masih dengan memegang album
ditangan. Mataku akhirnya terpejam, aku tertidur lagi.
Gelap.
Aku
berjalan melewati sebuah lorong tanpa cahaya, terlihat satu titik
cahaya di ujung lorong yang membuatku berjalan ke arahnya. Ternyata
lorong itu membawaku kesebuah ruangan. Tapi di mana itu?
Mimpi
yang mengerikan. Aku melihat sebuah pembunuhan dengan mata kepalaku
sendiri. Seorang gadis yang dibunuh dengan kejam dan meninggal di
ruangan itu dengan keadaan tragis. Sayangnya ruangan yang terlalu
redup membuatku sulit melihat siapa-siapa saja yang membunuh gadis
itu, Kejadiannya sangat cepat. Tidak banyak yang bisa aku rekam dalam
ingatanku dari mimpi itu, hanya saja, yang paling aku ingat wajah
dari gadis di mimpiku itu. Wajahnya mirip dengan gadis yang pernah
aku lihat di album foto Oma. Sebenernya siapa dia?
Sentuhan
dan panggilan lembut ibu membangunkan ku perlahan. Aku terjaga dari
mimpiku. “Kamu, kenapa tidur di sini, Kinan?”.”Iya bu, aku
ngantuk banget tadi bu, jadi tertidur di sini.”
Aku
melihat arloji yang aku pakai, waktu itu menunjukkan pukul 9.15
malam. Seketika aku kaget, karena ketika aku masuk ke ruang baca tadi
jam sudah menunjukkan pukul 11.11malam . Aku pikir arlojiku yang
rusak. Aku memastikan penglihatanku dengan melihat jam dinding di
ruang baca itu. Astaga, jam tua itu menunjukkan jam 9.15 malam.
Entahlah apa yang terjadi, mungkin mataku saja yang mulai rusak. Lain
kali mungkin aku harus memakai kaca mata.
Malam
itu berlalu dengan hati yang tak karuan. Mimpi yang mengerikan, jam
didinding dan penglihatanku yang mulai tidak bagus.Dan
keganjalan-keganjalan lainnya yang aku alami. Entahlah,,,sebelum aku
terlelap lagi dalam tidurku, aku berdo'a semoga aku masih bisa
melihat esok pagi yang cerah.
Mentari
yang hangat lembut menyentuh wajahku, aku terbangun. Senyum manispun
aku berikan kepada sang surya yang masih berkenan datang di pagiku.
Aku bergegas mandi dan menyiapkan diri untuk sarapan pagi bersama
Oma, ayah dan ibu. Karena Oma pasti akan ngamuk kalau aku tidak ikut
sarapan pagi.
Benar
saja, Oma yang sedang berada di dapur bersenandung kecil dan sesekali
mengencangkan suaranya untuk sekedar memberi tanda jika sarapan sudah
siap. Ibu yang ikut menyiapkan sarapan pagi senyum-senyum kecil
melihat kelakuan Oma yang seperti orang jatuh cinta. Pagi yang indah.
Kamipun
berkumpul kembali di meja makan yang berukuran cukup besar itu,
kira-kira cukup untuk tujuh orang itu. Hari itu hari kedua aku berada
di rumah Oma, rencananya besoknya kami kembali ke kota karena akan
ada acara di kantor ayah yang mengharuskan aku dan ibu ikut
menghadirinya. Tapi ternyata kami harus tetap berada di rumah Oma.
Pagi
itu juga aku iseng bertanya kepada Oma tentang gadis yang aku lihat
di album foto Oma. Ketika itu kita sedang berkumpul di ruang
keluarga. Oma yang tadinya begitu berseri wajahnya, mendadak berubah
seperti ada duka yang tersimpan. Luka dalam. Dengan pandangan kosong
Oma akhirnya menceritakan semuanya.
Merlyn,
gadis bungsu Oma, yang mengidap down syndrom atau yang biasa dikenal
dengan keterbelakangan metal. Menghilang seperti tertelan bumi di
rumah puluhan tahun yang lalu. Ketika kejadian itu Oma tinggal
bersama Paman Josh ,Bibi Lisa, dan Merlyn -anak kedua,ketiga,dan
keempat dari Oma- sedangkan ayahku anak pertama Oma yang harus kerja
keras menjadi tulang punggung keluarga menggantikan Opa yang telah
meninggal. Yang mengharuskan Ayah bekerja di negeri Paman Sam serta
melanjutkan study-nya di sana.
Malam
kejadian itu, Oma sedang menghadiri acara peresmian perusahaan milik
kolega Opa yang mengharuskan Oma tidak turut serta mengajak Merlyn
menghadiri acara malam itu. Sepanjang acara hati Oma merasa tidak
tenang meninggalkan Merlyn di rumah sendirian di kamarnya meskipun di
rumah ada Paman dan Bibi. Benar saja, sesampainya di rumah Oma tidak
menemukan Merlyn di kamarnya ,pun di tempat lainnya.
Oma
mencari Merlyn keseluruh ruangan rumah tapi hasilnya nihil. Keesokan
harinya Oma memanggil polisi untuk melacak keberadaan Merlyn. Tapi,
pihak polisipun angkat tangan menangani kasus Merlyn ini. Paman dan
bibi yang ketika itu berada di rumah ketika kejadian diperikas dan
polisi tidak banyak mendapat informasi dari mereka. Merlyn hilang
ditelan bumi.
Awalnya
Oma percaya pasti Merlyn ada di sebuah tempat, tapi dimana?
Masalah
ini berlarut-larut tanpa ada penyelesaian. Oma hanya bisa menangis
sepanjang hari menangisi kepergian Merlyn. Masih hidup ataukah sudah
meninggal. Bertahun-tahun berlalu dan masih menyisakan misteri
tentang keberadaan Merlyn. Akhirnya Oma merelekan kepergian Merlyn,
dan membuat satu kuburan yang bertuliskan nama Merlyn pada batu nisan
itu.
Bukan
waktu yang sebentar untuk menyembuhkan luka kehilangan kedua orang
yang Oma sayang. Opah dan Merlyn.
Hingga
akhirnya aku lahir ke dunia seperti memberikan warna yang baru untuk
hidup Oma. Paling tidak, Oma bisa sedikit melupakan Merlyn yang
malang.
Sejam,
dua jam, dan hampir 5 jam aku duduk berbincang dengan Oma. Tepukan
pundak Oma mengakhiri percakapan kami ketika itu.
Bagitu
banyak pertanyaan berkecamuk di kepala, diamku memikirkan Merlyn yang
malang. Seharusnya cerita ini sudah dikubur dalam-dalam, bersama
jasad Merlyn -yang dianggap ditelan bumi- yang damai. Damai? Aku rasa
tidak.
Malam
itu aku kembali bercengkrama dengan buku-buku Opah lagi. Sesuatu yang
aku cari aku harap bisa aku temukan malam itu juga.
Pukul
11 malam, aku masih tetap di sana, di ruang baca itu. Rasa kantuk
bukan lagi merasuki pelupuk mata melainkan hilang entah kemana,
biasanya aku jam segini sudah berada di alam mimpiku. Tapi tidak
malam itu.
Aku
masih berada di alam sadarku. Jelas sekali sekelibatan seseorang
mulai masuk ke dalam ruang baca. Siluet wajah seorang perempuan
tergambar jelas di dinding depanku. Takut. Aku harap tidak
menghinggapi dadaku ketika itu. Tapi ketakutan itu malah semakin
membesar dan menguasai dadaku.Sesak !
Aku
memejamkan mata. Tak sekalipun aku membuka. Beberapa menit berlalu
aku baru sadar, seharusnya aku menyaksikan semuanya. Bukankah ini
yang aku cari?
Mungkin
jawaban dari petanyaan ku terjawab selama.
Kujadikan
ketakutan sebagai kekuatanku ketika itu. Aku takut jantungku akan
melemah setelah berdetak begitu cepat. Melihat kejadian yang tak
dilihat orang awam, mendengar suara yang bahkan tak terdengar. Baru
sekali aku mengalaminya.
Suara
tangis, rintihan, ketawa terbahak, cacian-makian. Terdengar jelas,
seisi rumah seharusnya mendengar juga.Tapi tidak, hanya aku saja yang
mendengar. Ingin sekali berteriak melihat siluet kejadian pembunuhan
di depanku.
Tapi
aku tidak bisa. Aku pasrah dengan semua yang aku lihat di depanku
ketika itu. Aku harap aku kuat, jantungku tidak melemah atau bahkan
tiba-tiba berhenti. Lagi-lagi aku tidak bisa mengeluarkan suara dari
mulutku, apalagi untuk teriak. Aku bungkam.
Dua
orang dewasa, seperti perempuan dan laki-laki sedang mengancam
seorang gadis. Dibunuh secara sadis, dan akhirnya dikubur dibalik
tembok. Anehnya sejak kapan mereka mempersiapkan branksa besar
dibalik tembok itu. Seperti sudah dipersiapkan, tubuh gadis itu
dimasukkan ke dalam brankas yang berlapis baja tebal.
Pembunuhan
itu seperti sudah dipersiapkan. Brankas besar dibalik tembok itu,
seperti ukurannya udah diukur sesuai dengan ukuran tubuh korban. Tapi
yang dibunuh itu siapa? Mengapa dia dibunuh? Apa motif pembunuhan
itu?
Aku
terbangun dengan nafas tersengal, keringat bercucuran, sekujur
tubuhku serasa sakit semua. Dan aku menemukan diriku sudah berada di
kamarku sendiri. Seingatku aku berada di ruang baca Opah. Lalu siapa
yang memindahkanku ke tempat tidur ini? Apa yang terjadi tadi malam
hanyalah mimpi? Tapi itu terlalu nyata untuk sebuah mimpi.
Aku
menceritakan semua yang telah aku alami kepada ayah , ibu dan omaku.
Hingga akhirnya ayah yang tadinya tidak percaya dengan apa yang aku
ceritakan, mau menurutiku untuk membungkar tembok yang berada di
balik jam dinding tua di ruang baca Opah.
Sial
!
Yang
aku takutkan benar terjadi. Jasad Merlyn tersimpan rapi di balik
tembok itu. Seharusnya aku tidak mengungkap misteri ini tapi, sebuah
kesalahan besar bila aku tak juga membuka tabir misteri kematian sang
gadis malang. Merlyn.
Omah
shock, ibu memegangi pundak omah dari pertama dibungkarnya tembok
itu. Ayah hanya bisa terduduk lemas melihat pihak otopsi memeriksa
jasad saudara bungsunya yang terbujur kaku. Dan aku,,,hanya bisa
diam.
Tubuh
mungil Merlyn dipindahkan dari kotak besi yang dingin ke dalam peti
yang memang seharusnya jasad itu bersemayam. Anehnya, belasan tahun
jasad Merlyn dikubur di balik tembok itu, dan tidak ada yang
mencurigainya. Bahkan dari jasad Merlyn tak tercium bau busuk yang
biasa dikeluarkan dari tubuh yang telah mati.
Kini arwah Merlyn sudah tenang dialamnya, ditempat yang seharusnya....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar